Nama: Yolanda Dini Noersandy S
NIM: 24616001
Fenomena ini saya angkat berdasarkan kisah nyata yang terjadi di lingkungan tempat saya tinggal di kota Malang. Seorang ibu tunggal, sebut saja Bu Rina (nama disamarkan), mengalami berbagai bentuk diskriminasi sosial sejak ia menjadi janda pada akhir tahun 2022. Suaminya meninggal karena kecelakaan lalu lintas, dan sejak saat itu ia tinggal bersama anak semata wayangnya yang berusia 10 tahun. Pada awalnya, tetangga-tetangga sempat memberikan dukungan dan simpati. Namun, seiring waktu, situasi berubah. Bu Rina mulai merasakan penolakan secara sosial yang datang dalam bentuk pengucilan, gosip, hingga penilaian miring terhadap gaya hidup dan cara berpakaian. Ia mulai jarang diajak dalam kegiatan RT, bahkan ketika ada pembagian bantuan sosial, namanya tidak pernah tercantum. Beberapa warga bahkan menyarankan agar anak-anak mereka tidak terlalu dekat dengan anak Bu Rina karena “nanti ikut-ikutan”.
Melalui tulisan ini, saya ingin menganalisis kasus Bu Rina dalam perspektif psikologi sosial, khususnya dengan menggunakan konsep identitas sosial, prasangka sosial, dan stereotip. Pertanyaan utama yang hendak saya jawab adalah: Bagaimana mekanisme psikologi sosial menjelaskan pengucilan sosial terhadap ibu tunggal, dan bagaimana kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor penyebab serta dampaknya terhadap individu dan masyarakat?
Dalam kerangka Teori Identitas Sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner, setiap individu mendefinisikan dirinya berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok sosial tertentu. Dalam kasus Bu Rina, masyarakat sekitar mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari “keluarga utuh” yang normatif—suami, istri, dan anak—yang dianggap sebagai tatanan sosial yang baik dan seimbang. Ketika muncul sosok seperti Bu Rina yang secara sosial berada di luar struktur tersebut, ia secara otomatis diposisikan dalam kategori out-group. Proses kategorisasi ini kemudian mendorong terjadinya in-group favoritism, yaitu kecenderungan untuk memandang kelompok sendiri secara lebih positif dan kelompok lain secara negatif.
Dari sinilah lahir prasangka sosial. Prasangka adalah sikap negatif terhadap seseorang hanya karena ia berasal dari kelompok tertentu. Dalam hal ini, Bu Rina dipandang sebagai “janda”, bukan lagi sebagai individu dengan kepribadian dan nilai-nilai unik. Label itu membawa konsekuensi, karena janda dalam masyarakat patriarkal sering kali dikaitkan dengan kegagalan rumah tangga, kelemahan emosional, atau bahkan ancaman bagi keluarga orang lain. Prasangka ini diperkuat dengan stereotip, yaitu keyakinan umum yang tidak didasarkan pada kenyataan. Bu Rina mulai diasosiasikan dengan berbagai persepsi negatif: terlalu bebas, terlalu menarik perhatian, tidak pantas bersosialisasi, dan sebagainya.
Dalam psikologi sosial, stereotip sering kali bersumber dari heuristik, yaitu cara berpikir cepat yang menghemat energi kognitif. Orang tidak mau repot mengenal lebih dekat seseorang seperti Bu Rina, sehingga mereka menggunakan label yang sudah tersedia di benaknya sebagai rujukan untuk menilai. Bias kognitif seperti ini diperparah oleh atribusi disposisional, yakni kecenderungan untuk menyalahkan karakter pribadi atas sebuah kejadian, tanpa melihat situasi yang melatarbelakangi. Dalam hal ini, kegagalan rumah tangga Bu Rina dianggap sebagai akibat dari dirinya yang “tidak bisa menjaga rumah tangga”, padahal bisa saja faktor eksternal seperti kematian pasangan atau kekerasan dalam rumah tangga yang menjadi penyebabnya.
Selain aspek kognitif, ada pula faktor emosional yang memperkuat prasangka. Perasaan takut, tidak nyaman, atau bahkan iri bisa menjadi sumber ketegangan yang ditransfer ke perilaku sosial negatif. Di banyak komunitas tradisional, kehadiran perempuan mandiri sering kali mengusik kenyamanan norma yang telah mapan. Seorang ibu tunggal yang aktif, berpenampilan menarik, dan terlihat kuat justru dianggap “mengancam” keseimbangan moral. Emosi seperti ini bisa memunculkan perilaku sosial negatif seperti pengucilan, gosip, dan stigma.
Faktor lainnya adalah norma kelompok. Dalam masyarakat kolektivistik seperti Indonesia, keputusan individu sering kali sangat dipengaruhi oleh sikap kelompok. Banyak warga yang mungkin secara pribadi tidak keberatan dengan keberadaan Bu Rina, namun karena ingin menjaga posisi sosial mereka dalam kelompok, mereka ikut menjauh atau bahkan memperkuat narasi negatif yang berkembang. Ini disebut konformitas sosial, di mana individu menyesuaikan diri dengan kelompok untuk mendapatkan penerimaan sosial atau menghindari penolakan.
Diskriminasi terhadap ibu tunggal seperti Bu Rina tidak hanya berdampak pada level sosial, tetapi juga membawa dampak psikologis yang serius. Secara mental, seseorang yang mengalami pengucilan sosial dapat mengalami distres emosional, kesepian, bahkan gejala depresi. Dalam kasus Bu Rina, ia mengaku mulai kehilangan kepercayaan diri, mudah menangis, dan merasa tidak memiliki tempat yang aman di lingkungannya sendiri. Perasaan tidak diterima ini juga membuatnya ragu untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan menutup diri dari relasi baru.
Dampaknya tidak berhenti pada individu. Anak Bu Rina, yang awalnya ceria, mulai menunjukkan perubahan perilaku. Ia menjadi lebih pendiam, sulit berteman, dan mulai enggan bermain di luar rumah. Jika dibiarkan, ini dapat memicu masalah identitas diri pada masa remaja, termasuk perasaan tidak berharga atau sulit mempercayai orang lain. Trauma sosial yang ditimbulkan dari perlakuan seperti ini bisa berdampak jangka panjang, baik pada aspek psikologis maupun perkembangan sosial anak.
Dari sudut pandang masyarakat, diskriminasi terhadap ibu tunggal justru merugikan komunitas itu sendiri. Ketika sekelompok warga memilih untuk mengasingkan seseorang karena status sosialnya, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar dari perbedaan, menjalin kerja sama lintas latar belakang, dan memperkaya nilai-nilai sosial. Masyarakat yang homogen secara sosial sering kali lebih rapuh dalam menghadapi krisis karena tidak terbiasa menerima perbedaan. Sebaliknya, inklusivitas memperkuat ketahanan sosial.
Dalam teori kontak sosial yang dikembangkan oleh Gordon Allport, prasangka bisa dikurangi melalui interaksi antarkelompok yang setara, memiliki tujuan bersama, dan didukung oleh otoritas. Dalam kasus Bu Rina, interaksi yang terjadi justru lebih banyak bersifat negatif atau penuh kecurigaan. Tidak ada dukungan dari tokoh masyarakat, tidak ada inisiatif untuk menjalin kerja sama, dan tidak ada ruang bagi partisipasi ibu tunggal dalam kegiatan sosial. Artinya, syarat-syarat untuk memecah prasangka melalui kontak sosial tidak terpenuhi.
Dari hasil analisis ini, kita bisa menarik beberapa rekomendasi praktis. Pertama, perlu adanya pendidikan sosial berbasis empati yang dilakukan secara informal melalui kegiatan warga seperti pengajian, PKK, atau forum RT. Kedua, penting untuk membentuk ruang aman bagi ibu tunggal untuk bersuara dan berpartisipasi, misalnya melalui kelompok dukungan atau forum diskusi komunitas. Ketiga, peran tokoh masyarakat sangat penting untuk memodelkan perilaku inklusif dan membentuk norma sosial yang baru. Tokoh-tokoh ini bisa memulai dengan memberikan kesempatan bagi ibu tunggal untuk terlibat dalam kepanitiaan kegiatan, mengajar keterampilan, atau menjadi narasumber yang diakui.
Selain itu, pemerintah daerah juga memiliki peran penting. Perlu ada kebijakan lokal yang memastikan bahwa bantuan sosial, akses layanan pendidikan, dan fasilitas umum diberikan secara adil, tanpa memandang status keluarga. Penegasan dalam bentuk surat keputusan desa atau peraturan kelurahan bisa menjadi dasar legal untuk melindungi hak ibu tunggal.
Tak kalah penting adalah representasi media. Sinetron, film, dan iklan publik harus mulai menampilkan sosok ibu tunggal secara positif dan realistis, bukan sebagai simbol penderitaan atau objek rasa kasihan semata. Media memiliki peran besar dalam membentuk opini publik dan bisa digunakan sebagai alat dekontruksi terhadap stereotip yang telah tertanam dalam budaya masyarakat.
Dari sisi psikologi, kita juga bisa memanfaatkan intervensi berbasis kognitif dan afektif, misalnya dengan menghadirkan narasi personal dari ibu tunggal dalam forum publik, kampanye empati, atau pelatihan kesadaran sosial di sekolah. Semakin banyak orang yang memiliki pengalaman langsung atau emosional terhadap kisah ibu tunggal, semakin besar kemungkinan mereka untuk mengubah sikap negatif menjadi dukungan aktif.
Sebagai penutup, kasus Bu Rina mencerminkan bahwa stigma terhadap ibu tunggal bukan hanya permasalahan pribadi, melainkan produk dari dinamika sosial yang lebih luas. Diskriminasi seperti ini tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan meminta ibu tunggal untuk "kuat" atau "sabar". Yang dibutuhkan adalah perubahan struktur sosial, perubahan narasi, dan keterlibatan aktif dari semua pihak untuk membongkar prasangka yang telah berurat akar. Psikologi sosial mengajarkan kita bahwa perilaku sosial bisa berubah jika sistem sosial ikut berubah. Oleh karena itu, mari kita mulai membangun masyarakat yang lebih adil, bukan hanya dengan memberi ruang bagi kelompok rentan, tetapi juga dengan mengubah cara pandang kita terhadap mereka.